Jumat, Desember 04, 2015

Puisi Hamiddin di Media Massa


 di Majalah Syir'ah 2005

















Di Majalah Syir'ah 2006





















Di Koran Harian Surya 2007




















Di Majalah Horison 2006









































Di Tabloid Nyata 2008

Rabu, Juli 31, 2013

MERAH PUTIH


MERAH PUTIH

Di atas merah,
Bumi membasah,
Luapan nafas mengasuh gelisah
Perigi waktu meletakkan sejarah
Bahwa dulu kita terjajah

Di atas putih,
Kamboja mengerang perih,
Gugur bunga pada sepi
Melunturkan warna pelangi
Tanah ini telah kembali
Dipeluk pertiwi

19 Agustus 2006 (ibnu syam: puitika.com)

Selasa, September 04, 2012

DI TAMAN KOTA

DI TAMAN KOTA
Hamiddin

Bulan bertengger di pelupuk malam
Separuh tubuhnya terpungut usia
Jalannya renta, jejaknya menua
Mungkin tadi sore tak kau jumpai matahari
Sebab lelahnya telah kau simpan dalam mimpi

Malam semakin tamat
Rangkuman hasrat menggumpal, membulat
Potongan-potongan rindu tak beralamat
Tumbuh dan beterbangan seperti lalat

Mungkin hari ini kau lupa
Bahwa pagi ini kita akan bertemu di taman kota
Memetik bunga, cinta dan doa

Malang, 5 September 2012

Selasa, Agustus 28, 2012

23 HARI MENCARI KEFITRIAN: MATERI, IBADAH DAN HARMONISASI



23 HARI MENCARI KEFITRIAN
MATERI, IBADAH DAN HARMONISASI

Hamiddin

Ketika pagi beranjak dewasa, ia mulai memungut serpihan-serpihan jagung dan ketela dari ladang dunia demi keberlangsungan hidup. Sejak subuh, sejak teriakan pertama tangis hidup menjadi lembah tempat langkah menorehkan gelisah, setetes demi setetes air dititipkan pada pucuk-pucuk ilalang untuk hidup yang teramat panjang. Materi (makan, minum, berkeluarga, membangun rumah) merupakan bentuk manifestasi bahwa pengembara secara fisik harus dipenuhi kebutuhannya. Dalam pemenuhan kebutuhan lahiriah tersebut, pengembara bekerja, bercocok tanam, mencari kayu di hutan-hutan kehidupan demi nafas hari ini dan besok pagi. Hukum alam, ketentuan hidup sendiri yang menuntut pengembara untuk terus bertahan dengan cara memenuhi apa yang menjadi kebutuhan fisik. Materi merupakan salah satu jalan yang pasti dilalui oleh pengembara, karena pengembara masih berupa bentuk jasad.

Namun ketika malam telah menjelang dan sore menghilang di kelebatan letih perjalanan seharian, pengembara itu berhenti pada sebuah pintu untuk mengetuk keberadaan dirinya, keberadaan Tuhannya untuk memenuhi panggilan nurani dan kebutuhan batiniyahnya. Proses pemenuhan kebutuhan itu pun berlangsung dalam beberapa tahap perjalanan dan bentuk-bentuk aktifitas lainnya. Dari yang kasat mata hingga yang tak berbahasa, semua pasti akan dilalui. Kemudian, ketika malam benar-benar kelam dan angin meyakinkan diri bahwa dinginnya adalah kerinduan pengembara untuk mencari jati dirinya, maka pengembara itu belajar memahami pengembaraannya melalui diri, orang lain, alam dan bahkan gejala-gejala lain yang tak tertangkap oleh indera. Dari satu tangga ke tangga selanjutnya, waktu bergulir mengiringi derai airmata pengembara, menemani setiap nafas yang ia sebut hidup. Setiap tangga adalah bentuk dan proses penyempurnaan diri untuk menaiki tangga selanjutnya, maka dalam proses itu bersama-sama ritmis ilmu dan pengetahuan yang ia miliki, pengembara itu akan dipertemukan dengan dua sisi hidup, kanan kiri, atas bawah, hamba dan Tuhan. Yang menjadi nikmat dan anugerah dalam menjalani proses tahap-tahapan itu adalah apakah pengembara itu benar-benar menikmati apa yang menjadi bagian dirinya. Bagi pengembara itu, yang penting adalah proses menikmati apapun yang telah hadir di meja makan hidupnya. Entah asin, entah, manis, entah pahit, entah gurih, entah hambar dan lain-lainnya. Setiap rasa yang menjadi selera akan menjadi bagian kesempurnaan dirinya.

Bulan ini merupakan salah satu bentuk keharmonisan lahir dan batin. Di gigir ramadhan ini, pengembara akan dihadapkan dengan dua kebutuhan sekaligus untuk kemudian sama-sama dipenuhi. Satu kebutuhan saja yang dipenuhi, maka kebutuhan lainnya akan terasa ganjal. Jadi menuju keharmonisan dan kenikmatan yang sesungguhnya, dua kebutuhan itu harus sama-sama dipenuhi. Adalah wajar, bila setiap penggalan hidup dan lempengan kemanusiaan, fluktuasi harmonisasi kedua sisi tersebut akan mengalami naik-turun, kanan-kiri, hitam-putih, tergantung bagaimana pengembara memilih dan mengatur fluktuasi tersebut agar supaya terus harmonis dan berjalan di lempengan yang sebenarnya.

Dua kebutuhan itu telah melekat secara alamiah pada diri si pengembara. Keharmonisan yang hendak dicapai adalah keharmonisan materi dan ibadah (lahir dan batin). Banyak belajar, mengkaji, mengaji, silaturrahiem dan berusaha menjadi sempurna, harus dilakukan demi puncak ketentraman hidup dan nikmatnya perjalanan dimana angin masih rebah di pelepah-pelepah pisang dan bergelanyut di ujung kerinduan ilalang. Teka-teki perjalanan adalah teka-teki pengembara itu sendiri, carilah pada lempengan dan bait hidup, karena tanpa mencari mustahil penemuan akan datang sendiri.

Malang, 1 Oktober 2006.

25 HARI DALAM KEBERSAMAAN



25 HARI DALAM KEBERSAMAAN

Hamiddin

Lengkingan malam lenyap di balik rona fajar yang membujur membentuk gumpalan dan berkas putih di tepian penantian pagi. Kumundang adzan kembali terdengar memanggil jiwa yang terlelap dalam mimpi, membangunkannya dari lembah lamunan dan imajinasi menuju alam realitas dan gambaran hidup sejati. Di malam hari aku bermimpi, di pagi hari aku mencari dan mengaji ayat-ayat Tuhan di sepanjang jalan yang akan kulalui, menjelang magrib aku kembali sepi dan sebentar lagi akan kembali ke haribaan tanah lempung (asal mulaku).

Sejak beberapa hari yang lalu, ramadhan terhampar luas, kita merenda hari dengan benang berwarna-warni, kita telah menyulam kebersamaan dalam wadah pertemuan sejak akhir bulan Agustus lalu, dimana gelisahku telah selesai ketika tuturmu menjadi percakapan kita di lempengan pagi, siang, sore dan malam hari. Di awal percakapan itu, aku hendak menanam sebatang ilalang rindu di savanna senyummu hingga akhirnya kutemukan kepastian di sebelah mana benih ilalang itu tumbuh menjadi padang yang rimbun, menjadi tempat peristirahatanku ketika penat kembali melekat dalam perjalananku, sembari kusaksikan ribuan capung dan kupu-kupu bermain dan menawarkan resahku.

Malam…di teras depan ramadhan ini, aku hendak menyampaikan ma’af atas segala bentuk ketidaksempurnaan dan kekhilafanku ketika kita bersama. Aku yakin ada banyak hal yang tak berkenan di hatimu, karena perilaku, ucap dan tatapanku telah melukai atau paling tidak membuatmu resah dan merasa bersalah, itulah aku dengan segala kekuranganku. Berangkat dari belajar menjadi orang baik bersamamu, aku mohon ma’af karena di bulan yang mestinya kita buat kesempatan untuk menempa diri dan menjadi lebih berarti dalam hidup ini, aku telah mengajakmu memasuki wilayah yang tak semestinya terjadi, sebuah wilayah yang disebut manusia sebagai hedonisme dan kapitalisme, lupa berbagi dan lupa bernafiri. Inilah salah satu keterbatasanku, ketika aku tak mampu membawa nilai-nilai ibadah dan puasaku dalam aktivitas sosialku. Malam... beri aku senyum ketika aku menangis, beri aku tangis ketika aku senyum, beri aku sapa ketika aku diam, beri aku cerita ketika aku bosan membaca sajak-sajak cinta, beri aku tongkat ketika aku tak mampu menjadi diriku sendiri, itu yang kuharap dari pertemuan kita selama ini, saling mengerti, saling memberi dan mengisi hidup ini dengan hal-hal yang berarti di mata manusia dan Tuhan.

Sebelum sore ditelan rembulan, aku ingin mengajakmu menepi pada sebuah pantai, dimana ombak dan angin berdzikir dan saling mengingatkan bahwa perjalanan ke depan tak cukup dengan berbekal sebungkus cinta, tapi juga harus dibekali kesetiaan, pengertian dan saling mema’afkan. Rasa syukur dan terima kasihku terus aku katakan, sebab dengan mengenal dan bertemu denganmu, aku bisa melihat matahari pagi di jendela hidup yang lain, aku bisa menyemai bunga di ladang rindu yang lain, hingga di akhir harapan, takdir menyakinkanku bahwa kita akan bersama, menjadi satu kesatuan yang disebut keluarga.

Di perigi ramadhan
Dalam sujudku yang hampa
Ma’afkan aku Malamku
Jika genggam tanganku pada jemarimu
Telah menumbuhkan luka di hatimu
jika kecupku pada keningmu
telah mengungsikan kemanusiaanmu
jika tuturku dalam percakapan denganmu
telah membuatmu lupa bahasa dirimu

Malang, 29 Oktober 2006

26 HARI MENJELANG KEFITRIAN



26 HARI MENJELANG KEFITRIAN

Hamiddin

Awan membalut malam, sebentar saja sabit bulan menyayat kelam, sapuan angin mendinginkan tubuh, letupan nafiri ilahi sesekali mengiang di telinga, gerimis rindu semakin deras membasahi tanah batinku, senyum adalah dusta yang terpoles di bibirku. Belajar dari kesalahan untuk memperbaiki diri, belajar dari senyum untuk mengenal air mata, belajar darimu untuk memahami siapa diriku. Malam ini terasa ganjil, aku tetap menikmati apa yang tak bisa aku rasakan, mencoba menggertak pikiran yang tak mau berlari mengejar setiap detik dari hidup dengan harapan aku mengerti bahasa hati yang kering, bahasa batin yang bathil, bahasa pikiran yang kocar-kacir, bahasa bibir yang birahi dan bahasa nurani yang ber-Ilahi.

Di saat seperti ini, aku hanya berharap bisa melihat bulan sabit, bisa menyatakan bahwa lengkungan bulan adalah senyummu yang hakiki, senyum yang selalu memberiku teka-teki, senyum yang telah membuatku melupakan masa lalu (sebuah masa dimana garam hidupku terasa hambar, dimana aku sudah tidak mengenal mana pahit-mana manis).

Malam…sejauh ini, aku adalah pengembara dengan bekal sebungkus cinta, mencari makna hidup pada setiap hembus yang kau sebut nafas, pada setiap tetes yang kau sebut air mata, pada setiap peluk yang kau sebut hangat, pada setiap senyum yang kau sebut bahagia, pada setiap detak yang kau sebut rindu, pada setiap ngarai yang kau sebut pengaduan terhadap yang tak tergapai. Maka dalam perjalanan beberapa waktu, beri aku pintu ketika aku tak bisa menemukan jendela, beri aku jalan ketika aku tersesat, beri aku air ketika aku haus, beri aku waktu ketika aku kehilangan tafsir tentang ayat-ayat dirimu, beri aku obat ketika aku sakit, beri aku rindu ketika aku tak menjumpaimu, hingga aku kembali menyambutmu dengan tangan dan hati yang lapang.

Dalam sisi manusia terdapat dua macam arah yang berlawanan, tapi kedua arah yang berlawanan itu adalah bentuk kesempurnaan kita, bentuk hakikat kita sebagai manusia. Untuk itu, aku ingin belajar bersamamu untuk mencari arah mana yang harus kita pilih ketika kita dihadapkan pada persimpangan persoalan. Setiap arah memiliki makna dan rahasia masing-masing, tapi bagiku arah manapun akan aku pilih jika yang memilikiku menghendaki, jika yang memberiku nafas memberiku petunjuk, karena pada hakekatnya aku belum bisa mengenal diriku secara sempurna. Untuk menemukan kesempurnaan, dua arah hidup pasti akan kita alami, pasti akan kita lalui, hingga pada akhirnya kesempurnaan dan hakekat kemanusiaan kita temukan sebelum kita pergi menjelang garis usia dan takdir kita untuk mati.

Malam…sebagai manusia yang berproses memahami hidup, aku mencoba menyadarkan diri, instropeksi diri dan mencoba memberi manfaat bagi orang lain dengan bekal pengetahuan dan ilmu yang aku miliki. Selain itu, aku mengucapkan terima kasih karena kamu telah mengenalkan sisi-sisi hidup yang tak pernah aku ketahui sebelumnya, karena kamu telah mengajariku bahasa lain selain bercakap-cakap, karena kamu telah memberiku pagi selain pagi yang pernah aku hadiri, karena kamu telah mengantarkanku pada musim-musim lain yang belum pernah aku ketahui. Banyak ilmu yang aku dapat ketika aku mengenalmu, jadi terima kasih sampai detik ini kamu masih memberiku ruang untuk mengenal apa yang belum pernah aku ketahui tentang rahasia hidup. Semua yang mengalir dari ucap, tubuh, senyum dan bahkan diammu adalah ilmu bagiku, terima kasih cinta-ku!!!.

Malang, 27 September 2006

27 HARI MENJELANG KEFITRIAN



27 HARI MENJELANG KEFITRIAN

Hamiddin

Hampa terasa, tiga hari berlalu, belum sepenuhnya aku menikmati kelezatan hidangan Allah, berupa nikmat lapar dan lezatnya menahan keinginan untuk kesempurnaan diri manusia di awal Ramadhan ini. Hati, pikiran, jiwa, nafas dan seluruh anggota tubuh hambar merasakan denyut hidup hari ini, tak ada secuil renyah nafas hidup yang bisa membuatku mengerti tentang nikmatnya pemberian Allah. Air mata yang dulu mengalir, bagiku adalah rindu teramat membiru, seperti lukisan abstrak tapi sebenarnya nyata. Sepi dan hening yang pernah menemani hari-hariku mungkin pergi. Justru tanpa air mata, hening dan sepi nilai-nilai nikmat Allah justru kurasakan hambar. Ramadhan hari ini bagiku adalah lembaran kosong tanpa guratan tinta kerinduan, maka dengan apa meski kugapai kerinduan hakiki itu bila jemari ini tak kuasa menorehkan sedikit kata, kecuali omong kosong.

Ya…Allah, justru dalam tertawa aku tak mampu memilah mana nikmat mana anugerah-Mu, kenapa dalam tangisku, engkau begitu hadir, begitu dekat, dan begitu akrab dalam hembusan nafasku. Dalam hiruk pikuk tak sempatkah Engkau menjengukku (atau aku memang merasa tak membutuhkan-Mu), kenapa justru dalam hening dan gigilnya sepi hangat-Mu terasa hingga aku tak mau pindah dan berlari dari musim itu. Ya…Allah, beri aku rasa dalam senyum-Mu dan beri aku rasa dalam tangisku, aku tak mau salah satunya yang bisa kunikmati, aku mau keduanya, aku mau semuanya, karena aku tahu bahwa setiap apa yang Engkau berikan padaku adalah nikmat, seperti yang sempat aku tulis, bahwa cinta dan sakit hati sama-sama baiknya, sama-sama nikmat dan aku harus sujud dan bersyukur karena keduanya telah hadir dalam hidupku, tapi meski hambar dan hampa, terima kasih ya..Allah, Engkau masih memberiku rasa lain selain tangis dan bahagia, yaitu HAMPA.

Dalam hampa ini, justru aku belum mengerti isyarat apa yang hendak Engkau sampaikan padaku atau mungkin aku yang tak tahu diri, hingga rasa ini sulit kumengerti. Maka dengan segala kemurahan yang Engkau miliki beri aku ilmu untuk mengerti hampa dan hambar.

Secangkir kopi yang kusedu sore tadi, aromanya tak menyakinkanku bahwa dalam cangkir itu terdapat endapan dua rasa, pahit dan manis yang kemudian jadi nikmat. Ketika kureguk pun, kopi itu biasa-biasa saja, tak ada bedanya kopi-kopi yang kusedu tiap hari. Barangkali ketika aku menyedu kopi, batinku lagi kering, lagi kemarau, hingga ruapannya terasa hambar, bak makanan tanpa bumbu.

27 hari menjelang kefitrian
seduan pikiran dan hati
berpisah dalam diri
kemana harus aku mencari
titik temu
suburnya kemanusiaanku

ya..Allah
tanpa-Mu aku hanya hampa
tanpa-Mu aku bukan apa-apa
maka beri aku tenaga
untuk menggerakkan hembusan nafas ini
menjadi butir-butir embun di pagi hari
menjadi nafiri keimanan tiap inci
menjadi ruang untuk menemukan jati diri
ya…Allah
beri kecup anugerah-Mu
hingga kelahiranku
tak sia-sia

Malang, 3 ramadhan 1427/26 September 2006

MARHABAN YA...RAMADHAN



MARHABAN YA...RAMADHAN

Hamiddin

Selamat datang  wahai ruang rindu tempatku mengadu…
Selamat datang wahai lembah cinta tempatku mengurai luka…
Selamat datang wahai bilik sepi tempatku mengiris diri…


Hari menuntaskan waktu, senja merah tergurat rindu, angin sore mengantarkan keberangkatanku ke gerbang suci, gerbang perbatasan antara harapan dan kenyataan, ramadhan. Nafiri adzan mengalun memasuki dimensi waktu, mengendap di dinding-dinding kota ini, mengalir seperti serpihan angin ketika sore beranjak menjadi kelam, matahari kembali pada rangkuman kamus kehidupan. Aku yang berdiri diantara batas nalar dan rasa belum mampu mengupas setiap lempengan makna hidup dalam perjalanan selama ini.

Diantara hamparan warna senja, sepanjang jalan orang-orang berkemas dan mempersiapkan bekal untuk perjalanan suci selama sebulan, selama mungkin hingga pada akhirnya sampai pada kefitrian yang hakiki. Sementara aku di ruang mimpiku ingin mengajakmu menuntaskan lembaran hidup ini hingga usia memungut manusia, hingga tubuh ini seharum tanah dimana kita telah rebah menjadi ekosistem dunia.

Di rimbun sore dan kentalnya maghrib, kuingin melukis kanvas perjalananku berwarna semerah bibirmu, sebijaksana diammu, dan seluas hatimu, karena aku tak tahu apakah hijaunya batang dan ranting hidupku berasal dari gundukan tanah hidupmu?

Angin kembali membalutku dengan selimut gigil, tiap ruasnya adalah panggil. Ruapan sejuknya bulan ini semakin terasa, sepoinya kembali membisikkan rindu pada ilalang, tilasnya semakin terasa pada rebah rumput-rumput liar, adakah sungaiku bermuara pada luas lautmu?

Di gerbang penuh maghfirah, penuh berkah, penuh limpahan hidayah, luapan larva inayahnya mengalir terus sepanjang hari, sepanjang hembusan nafas kehidupan. Maka bersama tatapanmu yang tersimpan setiap pertemuan, ijinkan aku berucap: Selamat Menunaikan Ibadah Puasa, semoga setiap nafasmu adalah bahagiaku, semoga setiap denyut nadimu adalah dzikir rindumu pada Ilahi, semoga setiap serpihan kedipmu adalah telaga tempatku menyemai kedalaman cinta.

Ya…Allah
Lembah rindu-Mu telah Engkau hamparkan
Untuk sujudku yang tak kekal
Laut maghfirah-Mu telah Engkau gemuruhkan
Tempatku membasuh luka dan dosa
Maka beri aku sebatang ilalang
Untuk merimbunkan ladang-ladang hidupku
Menjadi sebuah hutan
Yang bernama kebahagiaan

Malang, 23 September 2006/1 Ramadhan 1427 H

Selasa, Agustus 07, 2012

KECUPMU ADALAH LUKA REMBULAN

KECUPMU ADALAH LUKA REMBULAN
Oleh Hamiddin

Kurebahkan tubuh ini
Diantara senja yang melamun
Kita dulu pernah menorehkkan janji
Untuk menggenapkan percakapan ganjil
Kau dan aku di musim yang lain

Ketika aku terperangkap di kelam malam
Kau datang menemuiku dengan tubuh menggigil
Memelukku, menciumku, dan mencumbuku
Saat itu kecupmu adalah luka rembulan
Yang sakitnya selalu kita simpan dalam kenangan

Sudahlah cintaku
Di Lorong sepi yang kita lalui
Tak ada bunga maupun ilalang
Sementara kita akan tetap saling berpaling
Untuk menjemput rindu kita masing-masing

7 Agustus 2012

Sabtu, Agustus 04, 2012

CANDU DALAM DEBU

CANDU DALAM DEBU
Oleh Hamiddin

Sik asik sik asik kenal dirimu
Sik asik sik asik dekat denganmu

Lantunan hit Ayu Ting Ting
Menyelinap dalam hening
Jika asikku bertemu
dengan guguran rindu
aku masih ragu
karena tubuh dan jiwaku berdebu

Saat kau mengetuk pintuku
Aku gelap dalam temaramku
Sepertinya aku tak bisa mengecupmu
Karena bibirku berlumur candu

Saat musim panen sudah diujung cinta
Kenapa aku tak lagi asik
Dengan marhabanMu?

Malang, 24 Juli 2012